Rabu, 01 Agustus 2012

suku bugis


Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.

Sejarah

Awal Mula

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Masa Kerajaan

Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat

Kerajaan Makassar

Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).

Kerajaan Soppeng

Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo

Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia @arm

Penyebaran Islam

Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[3]

Mata Pencaharian                                                                                   

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Perompak

Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.[4]

Serdadu Bayaran

Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5] Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.

Bugis Perantauan

Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka[rujukan?].

Penyebab Merantau

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
MENGENAL KEBUDAYAAN SUKU BANGSA BUGIS-MAKASSAR 
Sistem Kepercayaan Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar 
Orang Bugis-Makassar lebih banyak tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka merupakan penganut agama Islam yang taat. Agama Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke- 17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:
1) Patoto-e, yaitu ‘Dia yang menentukan nasib’
2) Dewata Seuwa-e, yaitu ‘Dewa yang tunggal’
3) Turie a’
rana, yaitu ‘Kehendak yang tertinggi’
Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut.
a. Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri atas:
1. Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan antarkaum kerabat.
2. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik. Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’
b. Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan.
c. Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan.
d. Wari, adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja.
e. Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.

Sistem Kekerabatan Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar 
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
1) Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2) Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
3) Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
1) anak dengan ibu atau ayah
2) saudara sekandung
3) menantu dan mertua
4) paman atau bibi dengan kemenakannya
5) kakek atau nenek dengan cucu

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah:
1) mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
2) massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
3) Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.

Sistem Politik Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar 
Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo’, toddo’). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua, pa’rasangan atau bori.’ Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sullewatang, orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:
a. anakarung atau anak’kareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja
b. to-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka
c. ata, yaitu lapisan budak
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anak’karung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian

Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar 
Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina. Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia. Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju. Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumbu adalah salah satu contohnya.
Suku Bugis
Oleh Abellia Anggi Wardani 0706164744Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas IndonesiaBugis merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan. OrangBugis mendiami kabupaten BuluKumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sindenreng-Rappang,Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros. Daerah Pangkajene danMaros merupakan daerah per-alihan yang juga didiami oleh anggota suku bangsa Makassar.Suku bangsa Makassar erat sering dikaitkan dengan suku bangsa Bugis, sehinggasering ditemukan istilah Bugis-Makassar. Namun, antara suku bangsa Bugis dan Makassar,sebenarnya merupakan dua kelompok etnik yang berbeda dengan variasi budaya masing-masing.
Bahasa
:Orang Bugis mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Bugis. Bahasa Bugis masihmerupakan keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Ada beberapa dialek yang masihdipakai yaitu dialek Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sindereng, Pare-pare, Sawitto,Telumpanuae, dan Ugi. Selain itu, orang Bugis juga memiliki aksara sendiri, yaitu
aksaralontara
yang berasal dari huruf Sansekerta. Jenis-jenis Lontara antara lain :1.Paseng, kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijaksana yang diucapkan ataudihafal.2.Attoriolong, kumpulan catatan-catatan mengenai asal-usul turun-temurun raja-rajaatau keluarga tertentu.3.Pau-pau ri kadong, cerita rakyat yang mengandung sifat-sifat legendaris.4.Pau-pau atu talo’, cerita rakyat yang biasanya menceritakn seorang tokoh yangmemang benar-benar ada.
 
Kesusastraan
:
Sure’ Galigo
, Sastra lisan yang berkembang di lingkungan istana Kerajaan Bugis danKerajaan Makassar. Dalam Sure’ Galigo ini terangkai syair-syair yang mengandung maknasangat dalam dan kebijaksanaan sangat tinggi.Syair-syair klasik Bugis, mempunyai bentuk dan isi yang lain dari bentuk-bentuk syair klasik nusantara. Biasanya syair-syair ini masih sering dinyanyikan pada saat pesta perkawinan (di pedalaman Tana Bugis). Contoh syair :
 De’ga pasa’ ri lipumu Balanca ri kampommuMulinco’ mabela?
Artinya :Tak adakah pasar dinegerimu,Maka engkau mengembara jauh,Untuk berbelanja?Pantun, pada umumnya didasarkan atas perbandingan-perbandingan dengan alamsekitarnya. Ada juga yang berisi sindiran atau kritikan terhadap suatu peristiwa. Contoh pantun :
 An-jo to-pe tas-sam-pe-aTe-a-ko jal-lling ma-ta-i Nia pa-tan-naTa-na-ka-lim-bu’-na ma-mi
Artinya :Sarung yang tergantung itu,Jangan kau tumpahkan kerling mata,(karena) telah ada yang empuya,Hanya belum diselimutinya.
Sinrili’ 
, adalah salah satu hasil kesusastraan klasik orang Bugis yang juga amatdisenangi sampai sekarang. Sinrili’ bisa disebut dengan cerita yang disusun secara poetis,atau prosa lirik yang diceritakan dengan jalan menyanyi, diiringi oleh sebuah alat musik gesek (
keso’-keso’ 
).
 
Lingkungan Alam
:Iklim di daerah Sulawesi Selatan adalah iklim tropis. Temperatur dan tekanan udaradisana tidak terlalu memperlihatkan fluktuasi yang besar. Dikarenakan penduduk SulawesiSelatan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani, maka mereka sangatmemperhatikan tentang cuaca, baik hujan dan angin. Wilayah pemukiman orang Bugis adayang berupa dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan Dataran rendah adadi bagian selatan. Lingkungan pegunungan yang diselingi hamparan sawah terdapat di daerahSidrap dan Maros.Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi Indonesia. Produksi panen lainnya ialah, jagungn, ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan. Adapula hasil perkebunan yang antara lain terdiri dari kelapa dan kopi. Kedua hasil perkebunan ini telahmenjadi komoditi ekspor. Sulawesi Selatan juga merupakan daerah yang subur sekaliguskaya akan kandungan mineral seperti bijih tembaga, batu bara, emas, nikel, minyak tanah, dll.
Sistem kekerabatan
:Dalam kalangan masyarakat Bugis, sistem kekerabatan yang dianut adalah
 Ade’ asseajingeng.
Sistem ini menyatakan peranannya dalam hal pencarian jodoh atau perkawinanuntuk membentuk keluarga baru. Dalam penarikan garis keturuanan mereka berpedomankepada prinsip bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat ayah dan pihak ibu sama erat dan pentingnya.Masyarakat Bugis terdiri dari dua golongan yang bersifat eksogam, pertaliankekerabatan dihitung menurut prinsip keturunan matrilineal, tetapi perkawinan bersifat patriokal. Dalam suatu perkawinan, orang Bugis sangat memperhatikan uang belanja yangdiberikan dari mempelai laki-laki. Makin besar pesta perkawinan itu ( uang belanja ), makinmempertinggi derajat sosial seseorang, walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan, ataudengan berhutang sekalipun.Penggolongan kerabat (seajing) di kalangan orang Bugis dibedakan antara
rappe
ataukelompok kerabat sedarah (
consanguinity
) dan
 sumpung lolo
atau pertalian kerabat karena perkawinan (affinity). Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat (
 seajing mareppe
) dankerabat jauh (
 seajing mabela).
 
Adat-istiadat
:Orang Bugis masih hidup diantara sistem norma dan aturan-aturan yang dianggapluhur dan keramat. Keseluruhan sistem norma dan aturan-aturan adat tersebut dinamakandengan
 Panngaderreng 
.
 Panngaderreng 
atau
 panngadakkang 
ini dapat diartikan sebagaikeseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah-laku terhadapsesama manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik. Terdapat pemberian gelar terhadap seseorang yang dianggap memiliki kelebihan dalam melihat dan menyimak suatukeadaan yang akan atau nanti terjadi, yang biasa menyebutnya sebagai sosok ’Panrita’.Sistem
 Pannagaderreng 
terdiri atas lima unsur pokok, yaitu :
 Ade’, Bicara, Rapang,Wari’ 
, dan
Sara’ ( 
salah satu unsur pokok yang diadopsi dari ajaran Islam, syareat Islam).Unsur-unsur pokok tersebut terjalin satu sama lain sebagai satu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis, sehingga mereka sangat menjunjung harga diri, kesemuanya terkandungdalam satu konsep yaitu
Siri’.
Unsur 
 Ade’ 
berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam sistem pemerintahan negeri.
 Bicara
adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan.
 Rappang 
merupakan analogi, kias, atau ungkapan adat untuk menjaga kontinuitas hukum.
Wari’ 
adalahklasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat.
Sara’ 
adalahkaidah-kaidah yang berasal dari Islam.
Sistem kepercayaan
:Religi orang Bugis dalam zaman pra-Islam seperti yang disebutkan dalam
 sure’ Galigo
(karya sastra kuno Bugis), sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan kepadasatu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama seperti
: Patoto’E 
(Dia yangmenentukan nasib);
To-palanroE 
(Dia yang menciptakan);
 Dewata seuaE 
(Dewa yangtunggal);
Tu-riE A’ra’na
(kehendak yang tertinggi);
 Puang Matua
(Tuhan yang tertinggi).Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, makaajaran Tauhid dalam Islam, dapat mudah diterimadan proses itu dipercepat dengan adanyakontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudah menetap diMakassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan niaga orang Bugis ke negeri-negeri lainyang penduduknya sudah beragama Islam.
Siri’ 
. Ketika dibicarakan tentang
 Panngaderreng 
, telah disebut tentang konsep
 siri’ 
,yang menintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Namun darihasil penelitian yang terjadi di lapangan, diketahui bahwa konsep
 siri’ 
itu, telah
 
diintegrasikan dalam berbagai macam bidang. B.F. Matthes, menerjemahkan instilah
 siri’ 
itudengan
‘malu’, ‘beschaamd’ 
,
‘schroomvallig’ 
,
‘verlegen’ 
. Diakui oleh beliau bahwa penjabaran baik dengan bahasa Indonesia maupun dengna bahasa Belanda, tidak dapatmendekati maknanya secara tepat. Dilain pihak, C.H. Slambasjah memberikan batan atas katasiri’ dengan memberikan tiga pengertian :
1.
Siri’ 
sama artinya dengan malu,
isin
(Jawa),
 shame
(Inggris).
2.
Siri’ 
merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan,mengusir, terhadap barang siapa yang menyinggung perasan mereka. Hal inimerupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukumanmenurut norma-norma adat, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan.
3.
Siri’ 
sebagai daya pendorong, bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha.Menurut Casutto, Siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mendekati batasan siri’, tidak mungkin orang memandang dari satuaspeknya sja, memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimenerti, karena siri’adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibtnya saja yang berwujud konkret sehingga dapatdiamati dan diobservasi.Disamping konsep
 siri’ 
itu, terdapat lagi semacam konsep yang dianggap sedikit lebihrendah dari konsep
 siri’ 
, yaitu
 pesse
. Menurut arti leksikalnya,
 pesse/ pacce
dapatditerjemahkan dengan ‘pedis’ atau ‘pedih’. Sebuah ungkapan dalam amanat orang-orang tuamenerangkan konsep
 pesse/ pacce
itu sebagai berikut :
“Ia sempugikku rekkua de’na siri’na,engka messa pessena”
yang artinya “mereka sesama saya orang Bugis, bilamana
 siri’ 
itu padanya tak ada lagi, akan tetapi niscaya masih ada
 pesse
-nya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa pesse adalah semacam dya dorong untuk menimbulkan rasa solidaritas yang kokohdikalangan orang Bugis.
Kesenian
:
 folklore
didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan (tarian), benda-benda, cerita rakyatyang belum dicatat atau dituliskan (folktale). Contoh beberapa
 folktale
yang berkembangdiantara orang-orang Bugis adalah
 Pocci-Tana
, asal-usul kota (Toraja dan Luwu, Sinjai,Enrekang dan Mangkendek, dan Bulukamba),
 Pemmali
(tentang larangan atau pantangan).
 
Seni tari yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) pada mulanya bersumber dari rangkaian pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dansegala sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebutmenunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah gemulai, diiringi oleh bunyi- bunyian yang merayu-rayu, utnuk membujuk atau mempengaruhi sang dewa agar memenuhi permintaan manusia. Contoh tarian dari suku Bugis : Pagellu’ (tarian khas dari daerahToraja), Pajaga (dari daerah tana-Luwu), Pajoge (dari daerah tana-Bone), Pakarena (daridaerah Butta Gowa), Patuddu’ (dari daerah Mandar). Selain contoh diatas masih ada beberapatarian lain yang sifatnya occasional seperti tarian Ma’dandan dan Manimbong yang hanyaditarikan pada ritual-ritual sebagai rasa syukur terhadap para dewa, ataupun tari ma’badongdan ma’rakka yang ditarikan pada pesta (selamatan) kematian.Alat-alat yang digunakan untuk mencari nafkah (mata pencaharian), mencakup alat pencaharian hidup di laut seperti Perahu dan alat-alat penangkap ikan. Ada beberapa jenis perahu yang berasal dari suku Bugis, yaitu Perahu Pinisi (perahu dagang dengan ukuransangat besar), Lambo’/ palari (perahu dagang yang ukurannya lebih kecil dari Pinisi), Lambocalabai (Perahu dagang yang bentuknya seperti kapal-kapal biasa).
Demografi
:Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, makakebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lainyang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Jumlah orang Bugis tidak dapatdiketahui dengan pasti, termasuk dalam data sensus penduduk tahun 1930 yangmemperhatikan identitas kesuku-bangsaan. Dalam sensus tersebut orang Budis dan Makassar disatukan dan jumlahnya tercatat sekitar 2.5 juta jiwa. Jumlah orang Bugis semakin terlihatsedikit karena kini mereka tidak saja berdiam di daerah asalnya di Sulawesi Selatan,melainkan juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal sebagai masyarakat perantau dan masyarakat bahari yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.Berbagai sumber menunjukkan bahwa orang Bugis menjadi alah satu unsur yang melahirkanmasyarakat Betawi, sebagai suatu hasil asimilasi dengan berbagai anggota masyarakat lainsebagai unsurnya. Orang Bugis juga menjadi penyebar agama Islam di Pulau Alor, NusaTenggara Timur. Bukti sifat kebaharian itu dapat juga dilihat dari daya jelajah mereka dengan perahu-perahu pinisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar