Kamis, 16 Agustus 2012
Rabu, 01 Agustus 2012
45 nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan YME,sesuai dengam agama dan kepercayaannya masing masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda beda terhadap Tuhan YME.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah masalah yg menyangkut hubungan pribadi manusia dgn Tuhan YME yg dipercayai dan diyakininya.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dgn agama dan kepercayaan masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME kpd org lain.
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan YME,sesuai dengam agama dan kepercayaannya masing masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda beda terhadap Tuhan YME.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah masalah yg menyangkut hubungan pribadi manusia dgn Tuhan YME yg dipercayai dan diyakininya.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dgn agama dan kepercayaan masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME kpd org lain.
1.
Kemanusiaan Yg Adil Dan Beradab
1. Mengakui & Memperlakukan manusia sesuai dgn harkat dan martabat sbg makhluk Tuhan YME.
2. Mengakui persamaan derajat,persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia,tanpa membeda bedakan suku,keturunan,agama,kepercayaan,jenis kelamin,kedudukan sosial,warna kulit dsb.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap org lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sbg bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja-sama dgn bangsa lain.
1. Mengakui & Memperlakukan manusia sesuai dgn harkat dan martabat sbg makhluk Tuhan YME.
2. Mengakui persamaan derajat,persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia,tanpa membeda bedakan suku,keturunan,agama,kepercayaan,jenis kelamin,kedudukan sosial,warna kulit dsb.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap org lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sbg bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja-sama dgn bangsa lain.
2.
Persatuan Indonesia
1. Mampu menempatkan persatuan,kesatuan,serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama dan atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban utk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3. Mengbangkan rasa cinta tanag air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan kebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yg berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
1. Mampu menempatkan persatuan,kesatuan,serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama dan atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban utk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3. Mengbangkan rasa cinta tanag air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan kebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yg berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
3.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat,setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan,hak dan kewajibam yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kpd orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dlm mengambil keputusan utk kepentingan bersama.
4. Musyawarah utk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yg dicapai sbg hasil musyawarah.
6. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal rehat dan sesuai dengan hati nurani luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberi kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat,setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan,hak dan kewajibam yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kpd orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dlm mengambil keputusan utk kepentingan bersama.
4. Musyawarah utk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yg dicapai sbg hasil musyawarah.
6. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal rehat dan sesuai dengan hati nurani luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberi kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan
4.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan stasana kekeluargaan dan kegotong-royongan
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak org lain.
5. Suka memberikan pertolongan kepada org lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik utk usaha-usaha yg bersipat pemerasan terhadap org lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yg bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dgn atau merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya org lain yg bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yg merata dan keadilan sosial
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan stasana kekeluargaan dan kegotong-royongan
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak org lain.
5. Suka memberikan pertolongan kepada org lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik utk usaha-usaha yg bersipat pemerasan terhadap org lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yg bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dgn atau merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya org lain yg bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yg merata dan keadilan sosial
suku bugis
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini
adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga
administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga
dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis
sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di
berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan. Orang
Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.
Sejarah
Awal Mula
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)Masa Kerajaan
Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan baratKerajaan Makassar
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia @armPenyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[3]Mata Pencaharian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.Perompak
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.[4]
Serdadu Bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5] Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.Bugis Perantauan
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka[rujukan?].Penyebab Merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.MENGENAL KEBUDAYAAN SUKU BANGSA BUGIS-MAKASSAR
Sistem Kepercayaan Kebudayaan
Suku Bangsa Bugis-Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka merupakan penganut agama Islam yang taat. Agama Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke- 17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:
1) Patoto-e, yaitu ‘Dia yang menentukan nasib’
2) Dewata Seuwa-e, yaitu ‘Dewa yang tunggal’
3) Turie a’rana, yaitu ‘Kehendak yang tertinggi’
Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut.
a. Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri atas:
1. Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan antarkaum kerabat.
2. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik. Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’
b. Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan.
c. Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan.
d. Wari, adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja.
e. Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.
Sistem Kekerabatan Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
1) Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2) Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
3) Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
1) anak dengan ibu atau ayah
2) saudara sekandung
3) menantu dan mertua
4) paman atau bibi dengan kemenakannya
5) kakek atau nenek dengan cucu
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah:
1) mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
2) massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
3) Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
Sistem Politik Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo’, toddo’). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua, pa’rasangan atau bori.’ Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sullewatang, orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:
a. anakarung atau anak’kareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja
b. to-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka
c. ata, yaitu lapisan budak
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anak’karung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian
Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar
Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina. Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia. Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju. Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumbu adalah salah satu contohnya.
Orang Bugis-Makassar lebih banyak tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka merupakan penganut agama Islam yang taat. Agama Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke- 17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:
1) Patoto-e, yaitu ‘Dia yang menentukan nasib’
2) Dewata Seuwa-e, yaitu ‘Dewa yang tunggal’
3) Turie a’rana, yaitu ‘Kehendak yang tertinggi’
Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut.
a. Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri atas:
1. Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan antarkaum kerabat.
2. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik. Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’
b. Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan.
c. Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan.
d. Wari, adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja.
e. Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.
Sistem Kekerabatan Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
1) Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2) Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
3) Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
1) anak dengan ibu atau ayah
2) saudara sekandung
3) menantu dan mertua
4) paman atau bibi dengan kemenakannya
5) kakek atau nenek dengan cucu
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah:
1) mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
2) massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
3) Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
Sistem Politik Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo’, toddo’). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua, pa’rasangan atau bori.’ Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sullewatang, orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:
a. anakarung atau anak’kareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja
b. to-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka
c. ata, yaitu lapisan budak
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anak’karung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian
Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bangsa Bugis-Makassar
Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina. Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia. Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju. Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumbu adalah salah satu contohnya.
Suku Bugis
Oleh Abellia Anggi Wardani 0706164744Program Studi Prancis Fakultas Ilmu
Pengetahuan BudayaUniversitas IndonesiaBugis
merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan. OrangBugis mendiami
kabupaten BuluKumba, Sinjai, Bone,
Soppeng, Sindenreng-Rappang,Polewali-Mamasa, Luwu,
Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros. Daerah Pangkajene danMaros merupakan
daerah per-alihan yang juga didiami oleh anggota suku bangsa Makassar.Suku bangsa Makassar erat sering dikaitkan dengan
suku bangsa Bugis, sehinggasering ditemukan istilah
Bugis-Makassar. Namun, antara suku bangsa Bugis dan Makassar,sebenarnya
merupakan dua kelompok etnik yang berbeda dengan variasi budaya masing-masing.
Bahasa
:Orang Bugis mempunyai
bahasa sendiri, yaitu bahasa Bugis. Bahasa Bugis masihmerupakan
keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Ada beberapa dialek yang
masihdipakai yaitu dialek Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sindereng,
Pare-pare, Sawitto,Telumpanuae, dan Ugi. Selain itu, orang Bugis juga memiliki
aksara sendiri, yaitu
aksaralontara
yang berasal dari huruf Sansekerta. Jenis-jenis Lontara antara lain :1.Paseng, kumpulan
amanat keluarga atau orang-orang
bijaksana yang diucapkan ataudihafal.2.Attoriolong,
kumpulan catatan-catatan
mengenai asal-usul
turun-temurun raja-rajaatau keluarga tertentu.3.Pau-pau ri kadong,
cerita rakyat yang mengandung sifat-sifat
legendaris.4.Pau-pau
atu talo’, cerita
rakyat yang
biasanya menceritakn seorang
tokoh yangmemang benar-benar ada.
Kesusastraan
:
Sure’ Galigo
, Sastra lisan yang berkembang di lingkungan istana Kerajaan Bugis danKerajaan Makassar.
Dalam Sure’ Galigo ini terangkai syair-syair yang
mengandung maknasangat dalam dan kebijaksanaan sangat tinggi.Syair-syair klasik Bugis, mempunyai bentuk dan isi
yang lain dari bentuk-bentuk syair klasik nusantara. Biasanya syair-syair
ini masih sering dinyanyikan pada saat pesta perkawinan (di
pedalaman Tana Bugis). Contoh syair :
De’ga pasa’ ri lipumu Balanca ri kampommuMulinco’ mabela?
Artinya :Tak adakah pasar dinegerimu,Maka engkau mengembara jauh,Untuk
berbelanja?Pantun,
pada umumnya didasarkan atas perbandingan-perbandingan
dengan alamsekitarnya. Ada
juga yang berisi sindiran atau kritikan terhadap suatu peristiwa. Contoh pantun :
An-jo to-pe tas-sam-pe-aTe-a-ko jal-lling
ma-ta-i Nia pa-tan-naTa-na-ka-lim-bu’-na
ma-mi
Artinya :Sarung yang tergantung itu,Jangan kau tumpahkan kerling
mata,(karena) telah ada yang empuya,Hanya belum diselimutinya.
Sinrili’
, adalah salah
satu hasil kesusastraan klasik orang Bugis
yang juga amatdisenangi sampai
sekarang. Sinrili’ bisa disebut dengan cerita yang disusun secara poetis,atau
prosa lirik yang diceritakan dengan jalan menyanyi, diiringi oleh sebuah alat
musik gesek (
keso’-keso’
).
Lingkungan Alam
:Iklim di daerah Sulawesi
Selatan adalah iklim tropis. Temperatur dan tekanan udaradisana
tidak terlalu memperlihatkan fluktuasi yang besar. Dikarenakan penduduk
SulawesiSelatan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani,
maka mereka sangatmemperhatikan
tentang cuaca, baik hujan dan angin. Wilayah pemukiman
orang Bugis adayang berupa dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah
pegunungan Dataran rendah adadi bagian selatan. Lingkungan pegunungan yang
diselingi hamparan sawah terdapat di daerahSidrap dan Maros.Sulawesi Selatan dikenal
sebagai salah satu daerah lumbung padi Indonesia. Produksi panen lainnya
ialah, jagungn, ubi kayu,
ubi jalar dan kacang-kacangan. Adapula hasil perkebunan
yang antara lain terdiri dari kelapa dan kopi. Kedua hasil perkebunan ini
telahmenjadi komoditi ekspor. Sulawesi Selatan juga merupakan daerah yang subur
sekaliguskaya akan kandungan mineral seperti bijih tembaga, batu bara, emas,
nikel, minyak tanah, dll.
Sistem kekerabatan
:Dalam
kalangan masyarakat Bugis,
sistem kekerabatan yang
dianut adalah
Ade’ asseajingeng.
Sistem ini menyatakan peranannya dalam hal pencarian jodoh atau
perkawinanuntuk membentuk keluarga baru.
Dalam penarikan garis keturuanan mereka berpedomankepada prinsip
bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat ayah
dan pihak ibu sama erat dan pentingnya.Masyarakat
Bugis terdiri dari
dua golongan yang bersifat eksogam,
pertaliankekerabatan
dihitung menurut
prinsip keturunan
matrilineal, tetapi perkawinan bersifat patriokal.
Dalam suatu perkawinan, orang Bugis sangat memperhatikan uang belanja yangdiberikan dari mempelai
laki-laki. Makin besar pesta perkawinan itu ( uang belanja ), makinmempertinggi
derajat sosial seseorang, walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan,
ataudengan berhutang sekalipun.Penggolongan kerabat (seajing) di kalangan orang
Bugis dibedakan antara
rappe
ataukelompok kerabat sedarah (
consanguinity
) dan
sumpung lolo
atau pertalian kerabat karena perkawinan
(affinity). Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat (
seajing mareppe
) dankerabat jauh (
seajing mabela).
Adat-istiadat
:Orang Bugis masih hidup diantara
sistem norma dan aturan-aturan yang dianggapluhur dan keramat. Keseluruhan
sistem norma dan aturan-aturan adat tersebut dinamakandengan
Panngaderreng
.
Panngaderreng
atau
panngadakkang
ini dapat diartikan
sebagaikeseluruhan
norma yang meliputi bagaimana seseorang harus
bertingkah-laku terhadapsesama manusia dan
terhadap pranata sosialnya secara timbal balik. Terdapat pemberian gelar terhadap seseorang yang dianggap memiliki
kelebihan dalam melihat dan menyimak suatukeadaan yang akan atau nanti
terjadi, yang biasa menyebutnya sebagai sosok ’Panrita’.Sistem
Pannagaderreng
terdiri atas lima unsur pokok, yaitu :
Ade’, Bicara, Rapang,Wari’
, dan
Sara’ (
salah satu unsur pokok yang diadopsi dari ajaran
Islam, syareat Islam).Unsur-unsur pokok tersebut terjalin satu sama lain sebagai
satu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis, sehingga mereka
sangat menjunjung harga diri, kesemuanya terkandungdalam satu konsep yaitu
Siri’.
Unsur
Ade’
berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan
norma dalam sistem pemerintahan negeri.
Bicara
adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan.
Rappang
merupakan analogi, kias, atau ungkapan adat untuk menjaga kontinuitas
hukum.
Wari’
adalahklasifikasi
benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat.
Sara’
adalahkaidah-kaidah yang berasal dari Islam.
Sistem kepercayaan
:Religi
orang Bugis dalam zaman
pra-Islam seperti yang disebutkan
dalam
sure’ Galigo
(karya sastra kuno Bugis), sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan
kepadasatu dewa yang tunggal, yang disebut
dengan beberapa nama seperti
: Patoto’E
(Dia yangmenentukan nasib);
To-palanroE
(Dia yang menciptakan);
Dewata seuaE
(Dewa yangtunggal);
Tu-riE A’ra’na
(kehendak yang tertinggi);
Puang Matua
(Tuhan yang tertinggi).Waktu agama
Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, makaajaran Tauhid
dalam Islam, dapat mudah diterimadan proses itu dipercepat dengan adanyakontak
terus-menerus dengan pedagang-pedagang
Melayu Islam yang sudah menetap diMakassar, maupun
dengan kunjungan-kunjungan niaga orang Bugis ke negeri-negeri lainyang penduduknya sudah
beragama Islam.
Siri’
. Ketika dibicarakan tentang
Panngaderreng
, telah disebut tentang konsep
siri’
,yang menintegrasikan secara organis
semua unsur pokok dari panngaderreng. Namun darihasil penelitian
yang terjadi di lapangan, diketahui
bahwa konsep
siri’
itu, telah
diintegrasikan dalam berbagai macam bidang. B.F. Matthes, menerjemahkan
instilah
siri’
itudengan
‘malu’, ‘beschaamd’
,
‘schroomvallig’
,
‘verlegen’
. Diakui oleh
beliau bahwa penjabaran
baik dengan bahasa Indonesia
maupun dengna bahasa Belanda, tidak dapatmendekati maknanya
secara tepat. Dilain pihak, C.H. Slambasjah memberikan batan atas katasiri’
dengan memberikan tiga pengertian :
1.
Siri’
sama artinya dengan malu,
isin
(Jawa),
shame
(Inggris).
2.
Siri’
merupakan daya pendorong untuk melenyapkan
(membunuh), mengasingkan,mengusir,
terhadap barang
siapa yang menyinggung
perasan mereka.
Hal inimerupakan
kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi
adat, yaitu hukumanmenurut norma-norma adat, jika
kewajiban itu tidak dilaksanakan.
3.
Siri’
sebagai daya pendorong, bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga
untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau
usaha.Menurut Casutto, Siri’ merupakan
pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh
pihak yang melanggar
adat. Dari beberapa
definisi diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa untuk mendekati batasan siri’, tidak mungkin
orang memandang dari satuaspeknya sja,
memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimenerti, karena siri’adalah
suatu hal yang abstrak dan hanya akibtnya saja yang berwujud konkret sehingga
dapatdiamati dan diobservasi.Disamping konsep
siri’
itu, terdapat lagi semacam konsep yang dianggap sedikit lebihrendah
dari konsep
siri’
, yaitu
pesse
. Menurut
arti leksikalnya,
pesse/ pacce
dapatditerjemahkan dengan ‘pedis’ atau ‘pedih’. Sebuah ungkapan dalam
amanat orang-orang tuamenerangkan konsep
pesse/ pacce
itu sebagai berikut :
“Ia sempugikku rekkua de’na siri’na,engka messa pessena”
yang artinya “mereka sesama saya orang Bugis,
bilamana
siri’
itu padanya tak ada lagi, akan
tetapi niscaya masih ada
pesse
-nya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa pesse
adalah semacam dya dorong untuk menimbulkan rasa solidaritas yang kokohdikalangan orang Bugis.
Kesenian
:
folklore
didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan (tarian), benda-benda, cerita
rakyatyang belum dicatat atau dituliskan
(folktale). Contoh beberapa
folktale
yang berkembangdiantara
orang-orang Bugis adalah
Pocci-Tana
, asal-usul kota (Toraja dan Luwu, Sinjai,Enrekang dan
Mangkendek, dan Bulukamba),
Pemmali
(tentang larangan atau pantangan).
Seni tari yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi
Selatan) pada mulanya bersumber dari rangkaian
pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dansegala
sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada dewa-dewa
tersebutmenunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah gemulai, diiringi
oleh bunyi- bunyian yang merayu-rayu, utnuk membujuk atau
mempengaruhi sang dewa agar memenuhi permintaan
manusia. Contoh tarian dari suku
Bugis : Pagellu’ (tarian khas dari
daerahToraja), Pajaga (dari daerah
tana-Luwu), Pajoge (dari daerah tana-Bone), Pakarena (daridaerah Butta Gowa),
Patuddu’ (dari daerah Mandar). Selain contoh diatas masih ada beberapatarian lain yang sifatnya occasional seperti tarian
Ma’dandan dan Manimbong yang hanyaditarikan pada
ritual-ritual sebagai rasa syukur terhadap para dewa, ataupun tari ma’badongdan ma’rakka yang
ditarikan pada pesta (selamatan) kematian.Alat-alat
yang digunakan untuk mencari nafkah (mata pencaharian), mencakup
alat pencaharian hidup di laut seperti Perahu dan alat-alat penangkap
ikan. Ada beberapa jenis perahu yang berasal dari suku Bugis, yaitu Perahu
Pinisi (perahu dagang dengan ukuransangat besar), Lambo’/ palari (perahu
dagang yang ukurannya lebih kecil dari Pinisi), Lambocalabai (Perahu dagang
yang bentuknya seperti kapal-kapal biasa).
Demografi
:Karena
masyarakat
Bugis tersebar
di dataran rendah yang
subur dan pesisir,
makakebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani
dan nelayan. Mata pencaharian lainyang
diminati orang Bugis adalah
pedagang. Selain itu masyarakat Bugis
juga mengisi birokrasi pemerintahan dan
menekuni bidang pendidikan. Jumlah orang Bugis tidak dapatdiketahui
dengan pasti, termasuk
dalam data sensus penduduk tahun
1930 yangmemperhatikan identitas
kesuku-bangsaan. Dalam sensus tersebut orang Budis dan Makassar disatukan dan
jumlahnya tercatat sekitar 2.5 juta jiwa. Jumlah orang Bugis semakin terlihatsedikit
karena kini mereka tidak
saja berdiam di daerah asalnya di Sulawesi
Selatan,melainkan juga
tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal
sebagai masyarakat perantau
dan masyarakat bahari yang
sudah berlangsung sejak
berabad-abad yang lalu.Berbagai sumber
menunjukkan bahwa orang Bugis menjadi alah satu unsur yang melahirkanmasyarakat Betawi, sebagai suatu hasil asimilasi
dengan berbagai anggota masyarakat lainsebagai unsurnya. Orang Bugis juga
menjadi penyebar agama Islam di Pulau Alor, NusaTenggara Timur. Bukti
sifat kebaharian itu dapat juga dilihat dari daya jelajah mereka
dengan perahu-perahu pinisinya.
Langganan:
Postingan (Atom)